Kabupaten Pasaman Barat(Sumatera Barat), liputanviral.space.com — Konflik agraria di Nagari Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, kian membuka tabir gelap tata kelola lahan plasma sawit seluas 374 hektar. Lahan yang semestinya menjadi hak masyarakat justru berubah menjadi arena perebutan kepentingan, memunculkan dugaan perampasan hak petani, penyalahgunaan izin kawasan hutan, hingga praktik mafia lahan yang berlindung di balik nama koperasi.
Kasus ini bahkan menyeret Kementerian Pertahanan RI melalui Forum Kader Bela Negara (FKBN) Provinsi Sumatera Barat, yang selama ini berupaya memfasilitasi masyarakat, namun terancam gagal akibat pengambilalihan lahan secara paksa oleh kelompok tertentu.
Awal Konflik: Plasma Sawit di Atas Tanah Ulayat dan Hutan Produksi
Berdasarkan kronologis resmi Badan Koordinator Wilayah FKBN Sumatera Barat, konflik bermula dari kewajiban PT Bintara Tani Dimana, perusahaan perkebunan sawit, yang harus menyediakan plasma 374 hektar sebagai bentuk kontribusi kepada masyarakat Nagari Air Bangis.
Lahan tersebut dikelola melalui Koperasi Serba Usaha (KSU) Air Bangis Semesta, dengan dasar kesepakatan bahwa tanah yang digunakan merupakan tanah ulayat masyarakat. Namun pada tahun 2021, fakta mencengangkan terungkap: lahan plasma itu ternyata berada di kawasan hutan produksi.
Alih-alih penyelesaian, konflik justru berujung pada penangkapan sejumlah petani yang selama ini mengelola lahan tersebut. Peristiwa ini memicu gejolak sosial dan mempertegas dugaan lemahnya perlindungan negara terhadap hak masyarakat adat dan petani kecil.
SK KLHK Terbit, KSU dinyatakan sah, Merespons krisis tersebut, FKBN Sumatera Barat melalui Ketua Bakorwil, Ina Yatul Kubra, bersama tim melakukan langkah konkret dengan mengurus legalitas lahan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Upaya panjang ini membuahkan hasil. Pada 10 Oktober 2023, KLHK menerbitkan Surat Keputusan (SK) Datin, yang secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan kawasan hutan Plasma 374 hektar sah berada di tangan KSU Air Bangis Semesta.
SK ini disebut sebagai dokumen kunci yang seharusnya mengakhiri konflik dan mengembalikan hak masyarakat secara penuh.
Muncul PT HRN, Hasil Sawit Tak Pernah Dinikmati Warga
Namun harapan itu kembali pupus. Setelah izin terbit, lahan plasma justru diduga dikuasai oleh PT HRN, perusahaan yang dikelola oleh pihak luar. Selama kurang lebih sembilan bulan, pengelolaan sawit berjalan tanpa transparansi.
Masyarakat mengaku tidak pernah menerima pembagian hasil panen, memunculkan dugaan kuat adanya itikad tidak baik dari pengelola. Kondisi ini mendorong Ina Yatul Kubra dan tim menyurati Pemerintah Nagari dan Forkopimca, mendesak agar lahan plasma diambil alih dan dikembalikan kepada masyarakat penerima manfaat.
Kesepakatan Negara Dilanggar, Lahan Diambil Paksa
Pada 2 September 2025, FKBN memfasilitasi pertemuan resmi yang dihadiri Wali Nagari, Plt Camat, Kepala Jorong, Danposal Air Bangis, tokoh masyarakat, dan para penerima manfaat. Kesepakatan rapat menegaskan bahwa kebun rakyat harus dikelola bersama demi kesejahteraan masyarakat, sesuai SK kementerian.
Namun ironisnya, baru berjalan dua bulan, muncul sekelompok orang yang mengambil alih lahan sawit secara paksa, mengatasnamakan pengurus KSU Air Bangis Semesta. Tim masyarakat yang selama ini berjuang justru disingkirkan, sementara lahan dikuasai kelompok yang mengklaim diri sebagai pemilik lahan.
Situasi ini memunculkan dugaan serius adanya mafia lahan berkedok koperasi, yang memanfaatkan konflik administratif untuk menguasai aset bernilai tinggi.
Desakan Investigasi: Negara Tak Boleh Kalah
Guna mencegah konflik horizontal dan potensi kekerasan, FKBN Sumatera Barat secara resmi meminta SATGAS Penertiban Kawasan Hutan (PKH) untuk turun tangan melakukan penertiban kawasan hutan, dan menarik kembali aset negara.
FKBN menegaskan, pengelolaan lahan plasma harus dikembalikan kepada masyarakat melalui wadah Koperasi Konsumen Forum Kader Bela Negara, sesuai mandat negara dan keputusan kementerian.
“Tujuan kami turun ke lapangan adalah memastikan lahan ini benar-benar dikelola untuk kesejahteraan masyarakat, bukan dirampas oleh segelintir orang, dengan adanya Kejadian ini maka saya akan mengambil langkah hukum dan diselesaikan dengan seadil-adilnya sesuai undang-undang yang berlaku di NKRI tegas Ina Yatul Kubra.
Kasus Plasma 374 hektar Air Bangis kini menjadi ujian serius bagi negara: apakah hukum dan keadilan berpihak kepada rakyat, atau kembali tunduk pada kekuatan modal dan jaringan mafia agraria.(Direktur)
